I. PENDAHULUAN
Maraknya berbagai permainan yang menjamur di perkotaan maupun dipedesaan membuat anak malas untuk belajar. Mengapa begitu permainan itu muncul anak langsung menyerbunya dan kadang-kadang lupa akan tugas mereka yaitu belajar dan belajar?. Kadang penulis juga heran mengapa sampai hal tersebut bisa terjadi.
Pada awalnya anak didik kita dan masyarakat Indonesia pada umunya kurang memiliki kebiasaan/kegemaran mebaca. Bukti nyata yang setiap hari bisa kita lihat kalau kita antre di berbagai instansi atau kantor-kantor dsb, naik kereta atau bis, tak satupun dari mereka sambil membaca. Kalau kita hitung berapa kerugian ilmu yang hilang atau tidak kita ketahui selama kita antri. Jikalau penulis antre di Bank (BCA) Madiun sambil membaca koran/majalah, kadang mereka juga mencuri baca. Ini bukti bagaimana lemahnya orang Indonesia dibidang membaca. Padahal bagi orang Islam pasti tahu bahwa Iqro’ (membaca bisa berarti juga ilmu) adalah ayat pertama kali yang turun di Gua Hira’. Mestinya Orang Islam menempatkan ilmu di atas segala - galanya.
Generasi sekarang tak lepas dari hasil didikan generasi tua yang memang sangat minim akan buku bacaan, sehingga berdampak pula terhadap kurangnya minat baca pada generasi tua pada saat itu. Berdasarkan laporan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan UNESCO Indonesia termasuk lima besar terparah setelah Brasil dan Macedonia dalam penguasaan Bacaan Siswa di Dunia, Jawa Pos, Kamis 3 Juli 2003.
Penulis akan mencoba untuk memberikan solusi bagaimana generasi mendatang bisa menjadikan membaca sebagai hoby atau kebutuhan pokok.
I. DIMULAI DARI RUMAH.
Pendidikan informal nampaknya memang mempunyai andil yang tidak main-main dalam memupuk gemar membaca. Sebagai peletak dasar hoby membaca harus dimulai dari lingkungan keluarga. Pihak orang tua harus betul-betul memperhatikan sedini mungkin terhadap perkembangan si anak untuk memulai membaca.
Membaca harus dimulai dari orang tua yang mau menyediakan perangkat bacaan yang banyak dan bergantian. Walaupun bekas tapi harus menarik bagi anak. Seperti yang penulis alami sampai kewalahan membeli buku baru untuk anak saya, sehingga kami belikan majalah Bobo dll yang bekas sehingga ngirit dengan uang Rp.3000 sampai Rp.5000,- dapat sepuluh (10) buku. Sekarang sudah tidak terlau sulit untuk mencari buku bacaan yang menarik bagi anak untuk dimiliki atau menyewa. Namun hal itu juga agak kesulitan kalau di pedesaan.
Anak dalam perkembangannya perlu sekali mendapatkan pengalaman yang sebanyak mungkin dari hasil panca inderanya. Semakin anak tersebut memiliki banyak pengalaman, mereka akan juga mempunyai pengalaman/pengetahuan yang hebat pula.
Jadi peran orang tua dalam membentuk dan mendorong anak memiliki hobi membaca adalah sangat utama dan harus dilakukan sedini mungkin.
II. DI SEKOLAH
Sekolah tempat kedua untuk mengembangkan ilmu yang orang tua didik tidak mampu untuk memberikannya. Sebagai tindak lanjut pekerjaan di rumah anak harus mendapatkan layanan/binaan yang lebih teratur dan terukur. Kalau sekolah tidak ada kesinambungan dengan apa yang telah ditanamkan di rumah akan hancur juga tujuan kita untuk meningkatkan generasi yang suka membaca. Antar sekolah dan keluarga harus ada jalinan program kelanjutan untuk menumbuh kembangkan minat baca anak sehingga menjadikan “membaca merupakan kebutuhan”. Keberadaan perpustakaan di sekolah harus menarik dari sudut tempat, buku, pelayanan dan lingkungannya.
III. DI MASYARAKAT
Penulis teringat ketika masih berada di kota Yogyakarta banyak tempat/halte ada koran dinding, sehingga dengan mudah dan santai para pengguna jalan yang akan naik bis kota bisa membaca dengan gratis. Alangkah hebatnya kalau kota-kota lain meniru untuk pengadaan koran-koran dinding diberbagai tempat yang strategis, sehingga setiap pengguna tempat tersebut bisa membaca gratis dan santai. Nampaknya program ini main-main, tetapi hasilnya penulis kira akan bukan main-main.
Ketiga tempat ini kalau kita kemas dengan baik dan terkoordinasi serta saling memberikan kontrol kami pikir akan klop dengan motto “tiada hari tanpa membaca” akan berhasil.
IV. PERPUSTAKAAN.
Perpustakaan akan sangat menunjang sekali untuk menggerakkan gemar membaca baik para pelajar, mahasiswa dan khalayak ramai. Perpustakaan tidak perlu harus mendirikan gedung tersendiri namun kita bisa mengembangkan lewat rumah, masjid, surau, gereja dan kantor desa. Ketertarikan anak untuk membaca tergatung dari buku dan kenyaman lingkungannya. Untuk memulai menjadi gemar membaca juga tidak mudah, kalau isi perpustakaan tidak menarik dan nyaman untuk ditempati. Jadikan “sorgaku ya perpustakaanku”
Perpustakaan harus menarik dari isi, nyaman untuk ditempati, tenang untuk membaca, sehingga pembaca akan betah serta kembali lagi, karena kerinduannya yang mendalam.
V. KESIMPULAN
Untuk menjadikan generasi muda yang gemar akan membaca, harus dimulai sedini mungkin dari lingkungan keluarga sebagai peletak dasar dan diikuti sekolah serta masyarakat. Kerja sama ketiga lingkungan itu harus erat saling mengisi dan mengontrol untuk membina generasi kita yang akan menikmati dan menghuni serta menahkodai negeri yang tercinta ini di masa yang akan datang.
Gemar membaca merupakan awal dari keberhasilan belajar dari segala disiplin ilmu. Kita bisa membayangkan bagaimana anak yang malas membaca bisa lama dalam belajar seharian.
Gemar membaca akan semakin efektif dan efisien dalam belajar, karena cepat menyerap, mengerti dan menguasai ilmu yang terkandung di dalamnya.
VI. PESAN DAN HARAPAN
Mayoritas orang Indonesia malas sekali membaca sehingga kapan kita mulai kalau tidak sekarang baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta pendukung utama negara kita.
Kita perlu kembali merenungi keberhasilan pendidikan jaman dulu yang mempokuskan pada kemampuan :menulis, membaca dan berhitung. Seperti apa yang dilakukan oleh negara tetangga kita yaitu Australia yang mefokuskan menulis, membaca dan berhitung pada pendidikan dasar mereka.
Apakah tidak sebaiknya pendidikan kita perlu disederhanakan untuk memberikan pondasi yang kuat dalam menerima segala bidang ilmu selanjutnya. Terlalu banyak cabang ilmu yang dibebankan pada anak di pendidikan dasar, membuat mereka lelah, dan banyak pula beban yang dipikulnya.
Pernah ada anak baru di sekolah kami yang DANEMnya lumayan bagus, namun setelah berjalan beberapa minggu tidak bisa menulis dan membaca. Bahkan setiap tahun masih ada saja anak yang tidak lancar dalam membaca dan menulis. Konon ceritanya kejengkelan para guru SDpun sampai hilang sehingga terus dinaikan sampai lulus biar nanti diurus di SMP atau pokoknya biar lulus.
Mari kita para guru untuk memberikan pelayanan khusus pada anak-anak yang kurang mampu dalam bidang ini untuk disendirikan dengan setiap hari diberi tugas menulis dan membaca. Kemungkinan kalau mereka ada rasa minder dengan yang lain berikan porsi separo jam untuk dikelas bersama temannya dan separo untuk membaca dan menulis.
Yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah harus peduli mengupayakan bagaimana solusi supaya buku bisa murah sehingga bisa terjangkau oleh mayarakat bawah serta mudah didapat.
Mari kita jadikan maskot atau motto bahwa “membaca adalah wajib” atau “ tiada hari tanpa membaca” juga “my hobby is reading” dan pokoknya, membaca dan membaca! walauapun kata “pokoknya” tidak demokratis namun sifat otoriter untuk “membaca dan membacaaa serta membacuuuuuuaaaaa!!!! “, harus dilakukan serta disebar luaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar